Temukan Kisah Pilu Penyintas Skizofrenia Katatonik, Merasakan Tubuhku Milik Orang Lain untuk bertahan hidup sehari hari

Minggu, 25 Mei 2025 oleh paiman

Temukan Kisah Pilu Penyintas Skizofrenia Katatonik, Merasakan Tubuhku Milik Orang Lain untuk bertahan hidup sehari hari

Kisah Stephania: Ketika Tubuh Bukan Lagi Milikku - Perjuangan Melawan Skizofrenia Katatonik

Bayangkan sebuah hari di mana Anda terbangun dan menyadari bahwa tubuh Anda tidak lagi merespons perintah. Anda ingin berbicara, bergerak, tetapi tidak ada yang terjadi. Inilah yang dialami Stephania Shakila Cornelia, seorang penyintas skizofrenia katatonik.

Sekitar tahun 2018, hidup Thepi, sapaan akrabnya, berubah drastis. "Aku bangun, tapi lidahku kelu, tubuhku kaku seperti patung," kenangnya. Ia berusaha memanggil namanya sendiri, namun tak ada suara yang keluar. Selama 40 menit, ia terperangkap dalam keheningan yang mencekam, sadar sepenuhnya namun lumpuh total.

"Rasanya aneh sekali. Seperti stroke, tapi bukan. Tubuhku berhenti berfungsi," ujar Thepi saat menceritakan pengalamannya kepada CNNIndonesia.com. Setelah serangkaian pemeriksaan di Sanatorium Dharmawangsa, diagnosis pun ditegakkan: skizofrenia katatonik.

Awalnya, Thepi tidak memahami apa arti diagnosis tersebut. Namun, ia segera merasakan dampaknya. Tangannya tremor hebat, tubuhnya kaku, dan pikirannya terasa berkabut. "Tremornya parah banget, sampai susah nulis dan makan. Tapi aku tetap memaksakan diri untuk bekerja," ungkapnya.

Keputusan untuk tetap bekerja ternyata menjadi bumerang. Kantor menjadi panggung bagi episode-episode tak terkendali. Ia pernah tertawa selama dua jam tanpa henti, padahal tidak ada yang lucu. "Aku ketawa sampai keringat dingin, kayak terjebak di tubuh sendiri," katanya.

Selain itu, Thepi juga dihantui paranoia. Ia merasa diawasi dan diikuti, membuatnya berpindah-pindah kosan hingga tujuh kali dalam dua bulan. "Aku merasa ada CCTV di kamar, sampai enggak bisa tidur," jelasnya.

Perjuangan Mencari Pertolongan

Lelah dengan semua yang dialami, Thepi memutuskan untuk pulang ke Kupang, Nusa Tenggara Timur. Ia berharap keluarganya dapat memberikan dukungan. Namun, alih-alih mendapatkan perawatan medis, ia justru dibawa ke seorang rubiah karena keluarga mengira dirinya terkena guna-guna.

"Kamu disantet," ujar salah satu anggota keluarganya. Sebagai keluarga Katolik yang konservatif, mereka lebih familiar dengan istilah 'guna-guna' daripada 'gangguan neurotransmitter'.

Pengobatan spiritual tersebut tidak membuahkan hasil. Kondisi Thepi justru semakin memburuk. Percobaan bunuh diri berulang membuatnya dirujuk ke rumah sakit. Di sana, dokter menjelaskan bahwa skizofrenia adalah gangguan medis, bukan sihir.

Sejak saat itu, hidup Thepi berubah. Ia kembali ke Jakarta dan menjalani terapi rutin. Setelah dua tahun, dosis obatnya dikurangi secara bertahap hingga akhirnya dihentikan sepenuhnya. "Tapi aku masih terapi enam bulan sekali untuk jaga-jaga. Aku juga diajarin teknik nafas dan cara kontrol diri. Yang penting, ada support system," jelasnya.

Bangkit dan Berjuang

Kehidupan Thepi perlahan membaik. Pada tahun 2022, ia melahirkan anak pertamanya. Namun, proses ini membawa tantangan baru. "Sempat chaos, mungkin karena baby blues atau karena aku pikir sudah normal. Sampai dengar bisikan dan nyoba bunuh diri lagi. Tapi, aku bisa keluar dari itu," ungkapnya.

Kini, Thepi tinggal di Bandung bersama anak dan ibunya. Sebagai seorang ibu tunggal, ia menghadapi banyak tantangan, namun juga memiliki tekad yang kuat. "Anakku tumbuh sehat. Aku pelan-pelan belajar jadi ibu. Susah dijelasin, sih. Tapi sekarang aku udah bisa bedain mana nyata mana enggak," ujarnya.

Ia tidak lagi mengonsumsi obat, tetapi menjaga diri melalui terapi, kontrol emosi, dan dukungan orang-orang terdekat. Sesekali, gejala itu datang menyapa. Namun, ia tidak lagi menyerah padanya. "Beberapa bulan lalu sempat lihat simbol-simbol aneh kayak di iPhone. Tapi sekarang aku tahu itu bukan nyata dan aku bisa kontrol," katanya.

Stephania Shakila Cornelia adalah seorang pejuang. Dalam kesunyian yang tak terdefinisi, ia belajar berbicara pada dirinya sendiri. Dalam realita yang kabur, ia menulis ulang kenyataan. Dan dalam kegelapan yang menelan, ia menyalakan cahaya dari dalam.

"Semua tergantung dari support system dan keinginan dari diri sendiri," ujarnya mantap. Hari ini, ia masih melukis, masih menulis, dan yang paling penting, ia masih bertahan.

"Aku pernah hampir kehilangan semuanya. Tapi sekarang, aku memilih bertahan. Untuk anakku, untuk diriku," tutupnya.

Kesehatan mental itu penting banget, lho! Buat kamu yang sedang berjuang atau ingin menjaga kesehatan mental, berikut beberapa tips yang bisa kamu coba:

1. Cari Dukungan yang Tepat - Jangan ragu untuk mencari bantuan dari keluarga, teman, atau profesional. Support system yang kuat bisa jadi penyemangat dan membantu melewati masa-masa sulit. Contohnya, curhat ke sahabat atau ikut komunitas support group.

Mencari dukungan adalah langkah pertama yang krusial. Jangan merasa sendirian dalam menghadapi masalah.

2. Jalani Terapi Rutin - Terapi bisa membantu kamu memahami kondisi diri dan mengembangkan strategi untuk mengelola gejala. Contohnya, terapi kognitif perilaku (CBT) atau terapi seni.

Terapi adalah investasi untuk kesehatan mentalmu. Jangan takut untuk mencoba berbagai jenis terapi sampai menemukan yang paling cocok.

3. Konsumsi Obat Sesuai Anjuran Dokter - Jika dokter meresepkan obat, minum secara teratur dan jangan berhenti tanpa konsultasi. Obat bisa membantu menstabilkan kondisi mental. Contohnya, obat antipsikotik untuk mengurangi halusinasi.

Obat bukanlah satu-satunya solusi, tapi bisa sangat membantu dalam mengelola gejala. Selalu konsultasikan dengan dokter mengenai efek samping dan dosis yang tepat.

4. Jaga Gaya Hidup Sehat - Olahraga teratur, tidur cukup, dan makan makanan bergizi bisa berdampak positif pada kesehatan mental. Contohnya, jogging pagi, tidur 7-8 jam sehari, dan perbanyak konsumsi buah dan sayur.

Gaya hidup sehat bukan hanya untuk kesehatan fisik, tapi juga untuk kesehatan mental. Ciptakan rutinitas yang menyehatkan dan menyenangkan.

5. Kelola Stres dengan Baik - Cari cara yang efektif untuk meredakan stres, seperti meditasi, yoga, atau melakukan hobi yang disukai. Contohnya, melukis, bermain musik, atau berkebun.

Stres yang tidak terkendali bisa memperburuk kondisi mental. Temukan cara yang paling cocok untukmu dalam mengelola stres dan jadikan itu sebagai bagian dari rutinitasmu.

Apa itu skizofrenia katatonik, Pak Budi?

Menurut Dr. Nova Riyanti Yusuf, seorang psikiater, skizofrenia katatonik adalah jenis skizofrenia yang ditandai dengan gangguan gerakan ekstrem. Penderitanya bisa mengalami kelumpuhan, kekakuan, atau justru gerakan yang berlebihan dan tidak terkendali. Ini adalah kondisi medis yang memerlukan penanganan profesional.

Bagaimana cara membedakan antara skizofrenia dan gangguan mental lainnya, Bu Ani?

Kata Najeela Shihab, seorang aktivis pendidikan dan kesehatan mental, skizofrenia memiliki ciri khas berupa gangguan dalam berpikir, merasakan, dan berperilaku. Hal ini seringkali disertai dengan halusinasi dan delusi. Diagnosis pasti hanya bisa ditegakkan oleh profesional kesehatan mental melalui serangkaian evaluasi.

Apakah skizofrenia bisa disembuhkan total, Mas Joko?

Menurut Deddy Corbuzier, seorang podcaster dan tokoh publik, meskipun skizofrenia belum bisa disembuhkan total, gejalanya dapat dikelola dengan baik melalui pengobatan, terapi, dan dukungan sosial. Banyak penderita skizofrenia yang mampu menjalani hidup produktif dan berkualitas.

Apa yang harus dilakukan jika ada anggota keluarga yang menunjukkan gejala skizofrenia, Mbak Rina?

Kata Najwa Shihab, seorang jurnalis, langkah pertama adalah mencari bantuan medis profesional. Jangan tunda untuk membawa anggota keluarga ke psikiater atau psikolog. Dukungan keluarga dan lingkungan juga sangat penting dalam proses pemulihan.

Bagaimana cara mengatasi stigma terhadap penderita skizofrenia, Bapak Herman?

Menurut Wishnutama Kusubandio, seorang tokoh kreatif, cara terbaik untuk mengatasi stigma adalah dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang skizofrenia. Edukasi yang tepat dapat membantu menghilangkan mitos dan prasangka yang salah, sehingga penderita skizofrenia bisa mendapatkan dukungan dan kesempatan yang sama dengan orang lain.