Dilema Obligasi AS, Senjata China yang Malah Bisa Jadi Bom Bunuh Diri bagi Perekonomian Mereka
Rabu, 16 April 2025 oleh paiman
Dilema Obligasi AS: Senjata Makan Tuan Bagi China?
China belakangan ini dikabarkan melepas kepemilikan obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS). Langkah ini cukup menarik, mengingat di tengah gejolak pasar, aset berdenominasi dolar AS, termasuk obligasi, biasanya justru jadi primadona. Namun, data Refinitiv menunjukkan imbal hasil US Treasury 10 tahun meroket tajam, khususnya antara 7-11 April 2025, dari 3,99% menjadi 4,49%.
CNBC International melaporkan, lonjakan imbal hasil ini mempersulit kebijakan perdagangan Gedung Putih. Sebelumnya, mantan Presiden Trump sempat mengumumkan penangguhan tarif 90 hari untuk sebagian besar negara, dengan tarif universal 10%. China justru dikecualikan, tarif impor dari China malah dinaikkan jadi 145%. China pun membalas dengan menaikkan tarif barang AS dari 84% menjadi 125%.
Meskipun ada klaim bahwa perubahan kebijakan ini sudah direncanakan, lonjakan imbal hasil obligasi kemungkinan menambah tekanan untuk menunda kebijakan tarif lebih lanjut. Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS memicu kekhawatiran. Obligasi AS selama ini dianggap sebagai aset aman (safe haven) di tengah gejolak keuangan.
"Kenaikan imbal hasil berarti biaya pinjaman yang lebih tinggi bagi perusahaan, dan tentu saja juga bagi pemerintah," ujar Laith Khalaf, Kepala Analisis Investasi di AJ Bell, seperti dikutip BBC.
Salah satu penyebabnya adalah erosi persepsi obligasi sebagai aset aman. Kekhawatiran akan dampak tarif terhadap inflasi dan defisit anggaran AS juga memperparah situasi. Alih-alih menjadi tempat berlindung, pasar obligasi AS kini diguncang perang dagang dan kekhawatiran fiskal, mengancam stabilitas keuangan jangka pendek.
Spekulasi China Picu Pelemahan Pasar Utang AS?
Pertanyaan besarnya, siapa yang melepas obligasi AS dan berapa banyak? Spekulasi mengarah pada negara asing seperti China, yang memegang sekitar US$759 miliar obligasi AS. George Saravelos, analis senior di Deutsche Bank, memperingatkan, "Perang dagang ini tidak akan menghasilkan pemenang. Yang kalah adalah ekonomi global secara keseluruhan."
Data menunjukkan porsi kepemilikan China atas US Treasury terus menurun sejak 2014, dari US$1,3 triliun menjadi kurang dari US$800 miliar di 2024, dan hanya US$760,8 miliar (Rp 12.758,62 triliun) pada Januari 2025.
China Tak Bisa Terus-menerus Menjual US Treasury
Meskipun ada spekulasi China mengurangi pembelian obligasi pemerintah AS, kemungkinan besar langkah ini akan merugikan Beijing sendiri. China sulit menjadikan kepemilikan obligasinya sebagai "senjata". Menjual obligasi akan menciptakan kekacauan pasar dan menurunkan nilai aset mereka sendiri.
The Fed dapat dengan mudah mengintervensi volatilitas pasar. Selain itu, seperti diulas Financial Times, ketidakpastian justru mendorong investor membeli lebih banyak obligasi pemerintah AS. Berbagai skenario menunjukkan, mengurangi pembelian obligasi AS berdampak netral atau positif bagi AS, sementara bagi China bisa netral atau negatif.
Berikut beberapa tips untuk memahami dinamika pasar obligasi AS dan pengaruhnya terhadap China:
1. Pantau Imbal Hasil Obligasi - Perhatikan pergerakan imbal hasil US Treasury. Kenaikan imbal hasil biasanya menunjukkan penurunan harga obligasi dan bisa mencerminkan sentimen pasar terhadap ekonomi AS.
Contoh: Imbal hasil US Treasury 10 tahun naik dari 3,99% menjadi 4,49% dalam seminggu menunjukkan adanya kekhawatiran di pasar.
2. Cermati Berita Geopolitik - Perang dagang dan kebijakan politik antara AS dan China dapat mempengaruhi pasar obligasi. Ikuti perkembangan berita untuk memahami potensi dampaknya.
Contoh: Kebijakan tarif baru AS terhadap China dapat memicu reaksi di pasar obligasi.
3. Pahami Konsep Safe Haven - Obligasi AS sering dianggap sebagai aset aman. Namun, persepsi ini bisa berubah tergantung kondisi pasar. Pelajari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi status safe haven obligasi AS.
Contoh: Ketidakpastian ekonomi global dapat meningkatkan permintaan obligasi AS, sementara kebijakan fiskal yang buruk dapat melemahkan statusnya.
4. Diversifikasi Portofolio - Jangan menaruh semua telur dalam satu keranjang. Diversifikasi investasi ke berbagai aset kelas dapat mengurangi risiko.
Contoh: Selain obligasi, pertimbangkan investasi di saham, emas, atau properti.
5. Cari Informasi dari Sumber Terpercaya - Gunakan sumber informasi yang kredibel dan tepercaya untuk mendapatkan analisis yang akurat tentang pasar obligasi dan ekonomi global.
Contoh: Referensikan berita dari media internasional terkemuka dan analisis dari lembaga keuangan terpercaya.
Mengapa China disebut sulit menjadikan obligasi AS sebagai "senjata"? (Pertanyaan dari Ani Budiman)
Menjual obligasi AS secara besar-besaran akan merugikan China sendiri karena akan menurunkan nilai obligasi yang mereka pegang dan menciptakan ketidakstabilan pasar global. (Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan)
Apa dampak kenaikan imbal hasil obligasi AS? (Pertanyaan dari Budi Santoso)
Kenaikan imbal hasil obligasi AS berarti biaya pinjaman yang lebih tinggi bagi perusahaan dan pemerintah, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi. (Perry Warjiyo, Gubernur Bank Indonesia)
Apa yang dimaksud dengan safe haven? (Pertanyaan dari Dewi Pertiwi)
Safe haven adalah aset yang dianggap aman dan stabil di masa ketidakpastian ekonomi. Obligasi AS secara tradisional dianggap sebagai safe haven. (Destry Damayanti, Ekonom Senior)
Bagaimana perang dagang AS-China mempengaruhi pasar obligasi? (Pertanyaan dari Eko Prasetyo)
Perang dagang menciptakan ketidakpastian yang dapat mempengaruhi sentimen investor dan menyebabkan volatilitas di pasar obligasi. (Chatib Basri, Mantan Menteri Keuangan)
Mengapa penting untuk diversifikasi portofolio investasi? (Pertanyaan dari Fajar Nugraha)
Diversifikasi mengurangi risiko dengan menyebarkan investasi ke berbagai aset kelas. Jika satu aset berkinerja buruk, aset lain dapat mengimbanginya. (Aviliani, Ekonom INDEF)
Apa yang harus dilakukan investor di tengah ketidakpastian pasar obligasi? (Pertanyaan dari Galih Putra)
Tetap tenang, pantau perkembangan pasar, dan konsultasikan dengan penasihat keuangan sebelum membuat keputusan investasi. (Bhima Yudhistira, Ekonom Center of Reform on Economics/CORE)